Kerajaan
kediri
Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah
kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini
berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.
Arca Wishnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri
berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama
ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal
ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan
Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan
pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah
wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra
yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang
berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama,
yaitu Kahuripan. Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama
kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha.
Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan
adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi
ibu kota Janggala.Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering
dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti
yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal
sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Perkembangan Kediri
Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak
diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya
prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri
Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan
raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan
prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya
berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam
prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan
Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa
dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya
Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina
secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab
adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai
Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang
diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu
memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Karya Sastra Zaman Kadiri[sunting sumber]
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan
Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah
dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi
kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas
Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan
Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara
bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis
Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Runtuhnya Kadiri[sunting sumber]
Arca Buddha
Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem, Jerman.
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan
Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum
brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan
Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan
Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter.
Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian
berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan
Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu
wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra
Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang
bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu
Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh
Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan
oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun
kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan
gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara,
Raden Wijaya.
Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri[sunting sumber]
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di
Daha, ibu kota Kadiri:
1. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih
utuh[sunting sumber]
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota
Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi
dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga
tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu[sunting sumber]
Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan
dalam prasasti Pamwatan (1042).
Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104).
Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri
Samarawijaya atau bukan.
Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117),
prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan
prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha
(1157).
Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan
prasasti Kahyunan (1161).
Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin
Smaradahana.
Sri Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti
Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205),
Nagarakretagama, dan Pararaton.
3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari[sunting sumber]
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan
Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman
Singhasari, yaitu:
Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
Tohjaya kakak Guningbhaya
Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang
kemudian menjadi raja Singhasari
4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri[sunting sumber]
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati
Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan
Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada
tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.
5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit[sunting sumber]
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang
paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol,
karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah
menjabat ialah:
1.Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti
Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
2.Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 -
didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
3.Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
4.Suhita 1415-1429 ?
5.Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin
Pitu
6.Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit[sunting sumber]
Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513
Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja
ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja
Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.
Kerajaan
singasari
Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau
Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada
tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah
Singosari, Malang.
Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari
yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika
pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang
bernama Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi
Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih
terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan
nama Kerajaan Singhasari.
Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan
dengan ejaan Tu-ma-pan.
Awal berdiri[sunting sumber]
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah
bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel
saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh
pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru.
Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken
Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja
Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken
Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa
Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan
oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk
pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam
naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra
yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255,
menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama
ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama
arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton
juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Silsilah Wangsa Rajasa[sunting sumber]
Silsilah Wangsa
Rajasa dari sumber prasasti dan naskah kepujanggaan
Silsilah wangsa Rajasa,
keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dengan blok warna
dalam gambar ini.[1]
Wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok. Keluarga
kerajaan ini menjadi penguasa Singhasari, dan berlanjut pada kerajaan
Majapahit. Terdapat perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam
menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.
Versi Pararaton adalah:
1.Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2.Anusapati (1247 - 1249)
3.Tohjaya (1249 - 1250)
4.Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5.Kertanagara (1272 - 1292)
Versi Nagarakretagama adalah:
1.Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2.Anusapati (1227 - 1248)
3.Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4.Kertanagara (1254 - 1292)
Kisah suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai
pertumpahan darah yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati
(anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir).
Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni
yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai. Sementara itu versi
Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara raja pengganti
terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena Nagarakretagama adalah
kitab pujian untuk Hayam Wuruk raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa
leluhur Hayam Wuruk tersebut dianggap sebagai aib.
Di antara para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan
Kertanagara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan
mereka. Dalam Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanagara atas
perintah Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan
raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama.
Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan
di Kadiri. Dengan demikian, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun
1254 dapat diperdebatkan. Kemungkinannya adalah bahwa Kertanagara menjadi raja
muda di Kadiri dahulu, baru pada tahun 1268 ia bertakhta di Singhasari. Diagram
silsilah di samping ini adalah urutan penguasa dari Wangsa Rajasa, yang
bersumber dari Pararaton.
Prasasti Mula Malurung[sunting sumber]
Mandala Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13),
perunggu, 22.5 x 14 cm. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Penemuan prasasti Mula Malurung memberikan pandangan lain
yang berbeda dengan versi Pararaton yang selama ini dikenal mengenai sejarah
Tumapel.
Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang
dijuluki "Bhatara Siwa", setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya,
kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri
dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara
digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati
digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti Mula Malurung
juga menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri
dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan
yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.
Pemerintahan bersama[sunting sumber]
Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya
pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton
disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar
terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu
upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan
cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.
Kejayaan[sunting sumber]
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam
sejarah Singhasari (1272 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan
wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu
untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi
bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya
(kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah
ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara,
sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi
menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke
Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu
ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah
bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu,
Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Keruntuhan[sunting sumber]
Candi Singhasari
dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Singhasari.
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan
perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun
1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang merupakan
sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam
serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan
membangun ibu kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun
berakhir.
Hubungan dengan Majapahit[sunting sumber]
Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan
Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari
maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian
diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese
untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan
Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik
ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai
kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu
dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Kerajaan
majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa
Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang
menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang
berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir
yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar
dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di
Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun
wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan
Historiografi[sunting sumber]
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan
Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh
para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan
Nagarakretagama[6] dalam bahasa Jawa Kuno.[7] Pararaton terutama menceritakan
Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek
mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi
Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam
Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[8] Selain itu,
terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari
Tiongkok dan negara-negara lain.[8]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut
dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur
non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua
naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural
dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun demikian, banyak pula sarjana
yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena
sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan
keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.[5]. Tahun 2010 sekelompok pengusaha
Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit
Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Hal ini dilakukan menurut Takajo adalah
untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China
(Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[10] Menurut Guru Besar Arkeologi
Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang
dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan
seni.[11] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari
Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini
mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina,
Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.[12]
Sejarah[sunting sumber]
Berdirinya Majapahit[sunting sumber]
Arca Harihara, dewa
gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran Kertarajasa. Berlokasi semula di
Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi
kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa
Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[13] ke
Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang
terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan
merusak wajahnya dan memotong telinganya.[13][14] Kubilai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan
dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan
pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan
diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi
pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[15]
Jawaban dari surat diatas disambut dengan senang hati.[15] Raden Wijaya
kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa
itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa
"pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya
bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil
menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya
sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut
karena mereka berada di negeri asing.[16][17] Saat itu juga merupakan
kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau
mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran
kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu
tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10
November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.
Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun
pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung
oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra
Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.[18] Slamet
Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk
menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi
dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[17] Wijaya meninggal
dunia pada tahun 1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton
menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada
suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia,
Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328,
Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni
seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri
dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya
Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336,
Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah
Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan
kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan
Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di
kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya
pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit[sunting sumber]
Bidadari Majapahit yang anggun, arca cetakan emasapsara
(bidadari surgawi) gaya khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman
kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit
dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya
dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada
(1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian
kepulauan Filipina[19]. Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak
kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan
terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja[20]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan
Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim
duta-dutanya ke Tiongkok.[2][20]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit
juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena
didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi
(Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[21] Pihak Sunda
menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja
Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang
putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal
ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.
Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan
Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan,
keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh
rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[22] Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan
"bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[23] Kisah
Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada
zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini
disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam
Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365
menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita
rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang
membentang dari Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku.
Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda
mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan
Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya
semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan
kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau
tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi
keras.[24]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada,
Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada
berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama
Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan
penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Jatuhnya Majapahit[sunting sumber]
Pasukan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan
Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun
1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta.
Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi
sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang
putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang
saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406,
antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya
di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian
ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang
jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405
sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan
komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa,
seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki
pijakan di pantai utara Jawa.[25]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan
oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia
adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua
Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh
Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah
Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan
memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga
tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra
Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan
oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap
Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[8].
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para
penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal
abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat
bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu
Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara[26]. Di bagian barat
kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung
kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai
Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa
jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per
satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Sebuah tampilan model
kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih
jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah
di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478
Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi
satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan
gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah
akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan
Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun
waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu
lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[27]) hingga tahun
1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala
yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun
berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka,
atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”.
Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah
gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana[28].
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia
telah mengalahkan Kertabhumi [28] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri).
Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena
penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada
tahun 1527.[29] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota
keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar
untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka
mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun
1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa
kerajaan Majapahit[30]. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi
Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad
Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra
raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan
Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan
Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari
Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan
menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah
keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya
tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang
beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar
seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat
Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo
dan Semeru.
Kebudayaan[sunting sumber]
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks
bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di
Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari
ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok]
"terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam
lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas
atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati
siapa saja yang memandangnya".
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung
dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual
keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap
hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah
taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan
Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan
ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara
langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta
wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi
luas.[31]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan
terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun.
Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk
Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu.
Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat
mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa
sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[32].
Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan
getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi
Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura
Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari
masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa
(kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berdasar struktur bata. Gaya bangunan
seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja
bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua
yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan.
Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan
perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa
kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu
berhasil mengalahkannya."
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da
Pordenone).[33]
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era
Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo
Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone".
Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di
Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada
1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia,
terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan
Nikobar hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia
kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti
Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa
menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa
menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak
cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak.
Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi
selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini
tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun
1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi[sunting sumber]
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa
Timur. (Koleksi Museum Gajah, Jakarta)
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara
perdagangan[20]. Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa
telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang
yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300,
pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting
terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu
keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping
koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang
seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3)
Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[34]
Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan
sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya
ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem
mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di
pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas
dan perak yang mahal.[31]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa
saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang
berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat
perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[31] Prasasti dari masa
Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai
dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang
daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman
sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata
pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas
ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua,
sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang
keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah
putih, timah hitam, dan tembaga[35]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan
Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan
bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.[36]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor
pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur
utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun
berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor
kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali
berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas
rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang
melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[31]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa
Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari
India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama
yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan
internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari
India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat
lain di wilayah Majapahit di Jawa[37].
Struktur pemerintahan[sunting sumber]
Arca dewi Parwati
sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam
Wuruk.
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan
birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya
struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan
sejarahnya [38]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang
otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi[sunting sumber]
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam
melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki
kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di
bawahnya, antara lain yaitu:
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra
raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang
melaksanakan pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang
pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat
ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam
dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah[sunting sumber]
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan
kelanjutan Singhasari[17], terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian
timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut
Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah
gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat
dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut
pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan
daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12
wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam
pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1.Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
2.Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha
(tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
3.Watek: dikelola oleh wiyasa,
4.Kuwu: dikelola oleh lurah,
5.Wanua: dikelola oleh thani,
6.Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
No
Provinsi
Gelar
Penguasa
Hubungan dengan Raja
1 Kahuripan (atau Janggala, sekarang Surabaya) Bhre
Kahuripan Tribhuwanatunggadewi ibu suri
2 Daha (bekas ibukota dari Kediri) Bhre Daha Rajadewi
Maharajasa bibi sekaligus ibu mertua
3 Tumapel (bekas ibukota dari Singhasari) Bhre Tumapel
Kertawardhana ayah
4 Wengker (sekarang Ponorogo) Bhre Wengker Wijayarajasa
paman sekaligus ayah mertua
5 Matahun (sekarang Bojonegoro) Bhre Matahun Rajasawardhana
suami dari Putri Lasem, sepupu raja
6 Wirabhumi (Blambangan) Bhre Wirabhumi Bhre Wirabhumi1 anak
7 Paguhan Bhre Paguhan Singhawardhana saudara laki-laki ipar
8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani2 anak perempuan
9 Pawanuan Bhre Pawanuan Surawardhani keponakan perempuan
10 Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah) Bhre Lasem
Rajasaduhita Indudewi sepupu
11 Pajang (sekarang Surakarta) Bhre Pajang Rajasaduhita
Iswari saudara perempuan
12 Mataram (sekarang Yogyakarta) Bhre Mataram
Wikramawardhana2 keponakan laki - laki
Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi
(blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre
Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan
raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana
(keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.
Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan
bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin
oleh seseorang yang bergelar Bhre.[39] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Kahuripan (no. 1)
Daha (no. 2)
Tumapel (no. 3)
Wengker (no. 4)
Matahun (no. 5)
Wirabumi (no. 6)
Kabalan (no. 8)
Kembang Jenar (no. 10)
Pajang (no. 11)
Jagaraga
Keling
Kelinggapura
Singhapura
Tanjungpura
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat
pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk
dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang
lebih besar pun terbentuk:
Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal
Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era
kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan wilayah
sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini
meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola
oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini
secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti
tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja
pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga
kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di
tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan
mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah
Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura,
Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan
Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan.
Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit
tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di
sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit
atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah
kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi,
Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan
Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang
didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri:
Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra
dengan tatanan (aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar
negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam
kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah
Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si
Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan
Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[40] Mitreka Satata dapat
dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri
seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit
telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba
seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai
"mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau
inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit
politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[41] Daerah-daerah
bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah
Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah
tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan
ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem
pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di
ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam
kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta
mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit[sunting sumber]
Silsilah wangsa
Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam
gambar ini.[42]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga
kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa
Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit.
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis
suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8].
Nama Raja
Gelar
Tahun
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328
Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 - 1350
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389
Wikramawardhana 1389
- 1429
Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 - 1447
Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451
Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453
Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 - 1466
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 - 1468
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498
Patih Udara 1498 -
1518
Warisan sejarah[sunting sumber]
Arca pertapa Hindu
dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem,
Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu
bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik[sunting sumber]
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram
berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke
Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi;
pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai
anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia
melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung
oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota
Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang
berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit —
sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting —
dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus
mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri
mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[32]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk
mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah
merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu
Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik
Indonesia saat ini.[20] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai
Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai
penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[43] Sukarno juga
mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru
menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan
negara.[44] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah
yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal
dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah
Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"),
berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal
perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari
warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika",
dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular,
seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur[sunting sumber]
Sepasang patung
penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian
Art, San Francisco)
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan
dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo)
berbagai bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah
menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura
dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah
digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik
pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan
Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi
bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya
merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang,
salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura
paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata.
Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada
kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan
Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman
berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo,
merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak
beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di
Bali.
Persenjataan[sunting sumber]
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan
penyebaran teknik pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik
pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin
selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya,
bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris.
Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang
pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian
barat.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan
penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini
salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The Metropolitan Museum
of Art, New York, Amerika.
Kesenian modern[sunting sumber]
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang
terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para
seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia.
Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Kerajaan
buleleng
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali bagian utara
yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada
tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa
Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang
sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.
Gusti Ngurah
Karangasem, raja Buleleng ke-12, dan 400 pengikutnya memilih tewas daripada menyerah saat perang di
Benteng Jagaraga (1849).
I Gusti
Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde Pasekan adalah
putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh
Pasek Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki
kekuatan supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir
kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara
halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den
Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.
I Gusti
Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng,
yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan).
Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya
punya pikiran yang saling berbeda.
Kerajaan
Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun
1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana
dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti
Pahang Canang yang berkuasa sampai 1821.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat
perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima
Perang I
Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun
1848 Buleleng kembali mendapat serangan
pasukan angkatan
laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849
Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat
dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Gusti Ngurah
Ketut Jelantik, raja Buleleng ke-14, dalam pakaian berburunya.
Berikut
daftar raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Buleleng:
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Gusti Anglurah Panji Sakti
|
1660
|
1697/99
|
||||
Gusti Panji Gede Danudarastra
|
1697/99
|
1732
|
Anak dari Gusti Anglurah Panji Sakti
|
|||
Gusti Alit Panji
|
1732
|
1757/65
|
Anak dari Gusti Panji Gede Danudarastra
|
|||
Gusti Ngurah Panji
|
1757/65
|
1757/65
|
Anak dari Gusti Alit Panji
|
|||
Gusti Ngurah Jelantik
|
1757/65
|
1780
|
Anak dari Gusti Ngurah Panji
|
|||
Gusti Made Singaraja
|
1793
|
?
|
Keponakan dari Gusti Made Jelantik
|
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Anak Agung Rai
|
?
|
1806
|
Anak dari Gusti Gede Ngurah Karangasem
|
|||
Gusti Gede Karang
|
1806
|
1818
|
Saudara dari Anak Agung Rai
|
|||
Gusti Gede Ngurah Pahang
|
1818
|
1822
|
Anak dari Gusti Gede Karang
|
|||
Gusti Made Oka Sori
|
1822
|
1825
|
Anak dari Gusti Gede Karang
|
|||
Gusti Ngurah Made Karangasem
|
1825
|
1849
|
Keponakan dari Gusti Gede Karang
|
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Gusti Made Rahi
|
1849
|
1853
|
Keturunan dari Gusti Ngurah Panji
|
|||
Gusti Ketut Jelantik
|
1854
|
1872
|
Keturunan dari Gusti Ngurah Jelantik
|
|||
Anak Agung Putu Jelantik
|
1929
|
1944
|
Keturunan dari Gusti Ngurah Jelantik
|
|||
1944
|
1947
|
Anak dari Anak Agung Putu Jelantik
|
||||
Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik
|
1947
|
1950
|
Saudara dari Anak Agung Nyoman Panji Tisna
|
Wangsa Warmadewa
Wangsa (dinasti) Warmadewa adalah keluarga bangsawan yang
pernah berkuasa di Pulau Bali.
Pendiri dinasti ini adalah Sri Kesari Warmadewa, menurut
riwayat lisan turun-temurun, yang berkuasa sejak abad ke-10. Namanya
disebut-sebut dalam prasasti Blanjong di Sanur dan menjadikannya sebagai raja
Bali pertama yang disebut dalam catatan tertulis. Menurut prasasti ini, Sri
Kesari adalah penganut Buddha Mahayana yang ditugaskan dari Jawa untuk
memerintah Bali. Dinasti inilah yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa
Kerajaan Medang periode Jawa Timur pada abad ke-10 hingga ke-11.
Prasasti Blanjong adalah suatu bagian dari tugu
yang ditemukan di Sanur pada tahun 1932
Arca Airlangga dalam perwujudan Vishnu menunggangi Garuda, ditemukan
di Candi Belahan, sekarang
disimpan di Museum Trowulan, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar